Minggu, 17 Agustus 2014

Generasi ‘Rabbani’

LABEL rabbani menggambarkan generasi emas umat (golden age) Islam. Generasi rabbani adalah generasi yang sukses, posisinya selalu berada dalam garis ajaran Islam, dan selalu mengajak orang lain untuk dekat dengan Allah. Generasi rabbani, generasi yang akan selalu berada di barisan terdepan dalam menegakkan kalimatullah, menegakkan syariat Islam. Generasi rabbani menjadi teladan karena secara duniawi generasi ini adalah orang-orang yang kaya jiwa dan unggul dari sisi ketaqwaannya.

Dari segi bahasa, kata rabbani diambil dari kata dasar Rabb, yang artinya Sang Pencipta, Pengatur, dan Pelindung makhluk, yaitu Allah. Kemudian diberi imbuhan huruf alif dan nun (rabb + alif + nun = Rabbanii). Dengan imbuhan ini, makna rabbani adalah orang yang memiliki sifat sesuai dengan apa yang Allah harapkan. Kata rabbani merupakan kata tunggal, untuk menyebut sifat satu orang. Sedangkan bentuk jamaknya adalah rabbaniyun.

Ali bin Abi Thalib ra, mendefinisikan rabbani sebagai generasi yang memberikan santapan rohani bagi manusia dengan ilmu (hikmah) dan mendidik mereka atas dasar ilmu. Sementara Ibnu Abbas ra dan Ibnu Zubair mengatakan, “rabbaniyun adalah orang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya.” (Kitab Zaadul Masir fi Ilmi at-Tafsir, karya Ibnul Jauzi; 1/298):

Menyemai generasi rabbani
Rasulullah saw berpesan: “Fazfar bizatid din, taribat yadaka”
(Pilihlah jodohmu yang beragama, niscaya beruntung tanganmu). Isteri yang shalih, menyenangkan bila dipandang, taat bila disuruh, menjaga amanah saat suaminya pergi, membantu kita dalam ketaatan dan urusan akhirat, menggerakkan keimanan kita, mencegah kita dari maksiat dan seterusnya. Wanita yang mempunyai mentalitas dan akhlak agama (dzatuddin). Wanita yang demikian akan menjadi lahan subur untuk menyemai generasi rabbani yang shalihin, karena ia akan menjadi pendidik utama bagi keluarganya.

Dalam Alquran dijelaskan di antara ciri wanita shalihah adalah yang taat kepada Allah, serta menjaga yang gaib, apa-apa yang dijaga oleh Allah (QS. An-Nisa’: 34). Ia menjaga dirinya, suaminya, kehormatannya, anak-anaknya, harta benda, rahasia, dan lain-lain. Wanita shalihah kerap berpesan kepada suaminya: “Jangan sampai anda mencari rizki yang haram, karena kami lebih tahan menderita lapar dari pada menahan siksa neraka.” Ucapan ini akan sangat membantu suami, menjadi rem agar tidak memakan harta haram, menerima suap, pungli, korupsi dan lain-lain.

Selanjutnya memohon agar dikaruniai keturunan yang shalihin (menjadi permata hati), menjadi permata hati bukan sekadar tumbuh besar, sehat, cakap, sukses belajarnya, dapat pekerjaannya. Tetapi yang bisa terjaga dari api neraka, lurus akidahnya, rajin ibadahnya, luhur akhlaknya, bertakwa kepada Allah, berbakti kepada orang tua, bisa menjalankan fungsinya dalam memakmurkan bumi sebagai khalifah fi-ardl. Karena itu marilah kita mulai dari lingkungan terdekat dengan membangun cita-cita yang luhur, abadikan dan bangun cita-cita kita dalam doa khususnya harapan untuk memiliki generasi rabbani.

Pendidikan sudah dimulai sejak bayi dalam kandungan, karena diyakini, bahwa perkembangan kapasitas intelektual anak sudah terjadi pada saat bayi dalam kandungan. Para ahli neurologi berpendapat, bahwa selama 9 bulan dalam kandungan, paling tidak setiap menit dalam pertumbuhan otak diproduksi 250.000 sel otak. Sehingga selama usia 8 bulan dalam kandungan, diperkirakan bayi memiliki biliunan sel syaraf dalam otaknya. Sel-sel otak ini dibentuk berdasarkan stimulasi dari luar otak. Stimulasi yang diberikan akan membentuk sel-sel otak sehingga otak dapat berkembang optimal. Pada saat ini perlu diperhatikan makanan dari sumber halal, dan si ibu sering membaca ayat suci Alquran.

Oleh karena itu, bagi ibu yang sedang mengandung, selain harus memberikan stimulasi juga memerlukan nutrisi yang baik bagi kesehatan dirinya dan bayi yang dikandungnya. Nutrisi yang baik tentu harus memiliki kandungan gizi yang cukup sehingga dapat membantu perkembangan sel otak janin agar bayi memiliki tingkat potensi kecerdasan yang tinggi dan terlahir sehat nantinya. Nutrisi yang baik haruslah juga menuntut kehalalan produk suatu makanan yang dikonsumsi oleh ibu hamil. Kebiasaan mengonsumsi makanan halal pada saat ibu mengandung merupakan sebuah pendidikan bagi anak yang dikandungnya.

Semua orang tua, tentu mendambakan anaknya tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang cerdas, berprestasi dan bermoral. Anak yang cerdas belum tentu tumbuh dan berkembang menjadi anak yang berprestasi, dan anak yang cerdas dan berprestasi belum tentu tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang bermoral jika tidak dididik dengan baik dan benar. Maka, hendaklah para orang tua untuk tidak melewatkan masa ini, berikan pengasuhan dan pendidikan sebaik-baiknya kepada anak. Makanan tidak mesti yang mewah dan mahal, tetapi makanan itu pastikan sehat dan halal, sesuai dengan firman Allah: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS. Al-Maidah: 88)

Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, lindungilah diri kalian dan keluarga kalian dari neraka.” (QS. At-Tahrim: 6). Dalam ayat ini ada dua perintah Allah Swt: Pertama, lindungi diri kalian, yaitu dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, dan; Kedua, lindungi keluarga kalian, dengan memerintahkan untuk mengamalkan kewajiban dan melarang keluarga untuk melanggar larangan.

Mendidik keluarga
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Rasulullah saw mengajarkan beberapa metode dalam mendidik keluarga: Pertama, ajari mereka untuk bertauhid. Alquran mengisyaratkan apa yang disampaikan Nabi Ya’qub ketika hendak meninggal dunia: “Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: Apa yang kamu sembah sepeninggalku? Mereka menjawab: Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (QS. al-Baqarah: 133)

Kedua, ajari keluarga untuk melaksanakan shalat. Dari Ibnu Abbas ra, Nabi saw bersabda: “Perintahkanlah anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia 7 tahun. Dan pukullah mereka untuk dipaksa shalat, ketika mereka berusia 10 tahun.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan al-Albani). Ketiga, memberikan sedikit ancaman agar mereka tidak bermaksiat. Tujuan memberikan ancaman semacam ini adalah agar anak tidak berani melawan orang tua atau istri melawan suami. Dari Ibnu Abbas ra, Nabi saw bersabda: “Gantunglah cemeti di tempat yang bisa dilihat penghuni rumah, karena ini akan mendidik mereka.” (HR. Thabrani dalam al-Ausath, dan dihasankan oleh al-Albani).

Keempat, pisahkan tempat tidur antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Ini akan menjadi pendidikan bagi anak untuk memahami bahwa antara laki-laki dan wanita tidak boleh campur-baur. Pemisahan ini dimulai ketika mereka menginjak usia 10 tahu. Nabi saw bersabda: “Pisahkan tempat tidur di antara mereka.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan al-Albani).

Kelima, memperbanyak doa untuk kebaikan keluarga. Banyak sekali doa yang Allah ajarkan dalam Alquran, yang isinya memohon kebaikan bagi keluarga. Demikian pula Rasulullah saw banyak mengajarkan hal yang sama dalam hadisnya, seperti doa Nabi Ibrahim as untuk keturunannya (QS. Ibrahim: 35), (QS. Ibrahim: 40), dan lain-lain.

Keenam, membiasakan anak dengan pakaian yang syar’i. Hendaknya anak-anak dibiasakan memakai pakaian sesuai dengan jenis kelaminnya. Anak laki-laki mengenakan pakaian laki-laki dan anak perempuan mengenakan pakaian perempuan. Jauhkan anak-anak dari model-model pakaian barat yang tidak syar’i, bahkan ketat dan menampakkan auratnya, sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Barangsiapa yang meniru sebuah kaum, maka dia termasuk mereka.” (HR. Abu Daud).

Dr. H. Abd. Gani Isa, SH, M.Ag, Dosen Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Email: aganiisa@yahoo.co.id

(Sumber: http://aceh.tribunnews.com/2014/01/10/generasi-rabbani)

0 comments:

Posting Komentar